Selamat Datang Di Blognya Ozy Shira

Jumat, 12 Agustus 2016

“Full Day School”, Kurang Efektif

Menanggapi usulan Menteri Pendidikan baru, Muhadjir Effendy, yang dimuat dalam http://edukasi.kompas.com/ pada Senin, 8 Agustus 2016 | 12:46 WIB   mengenai Full Day School, saya kurang setuju dengan kebijakan tersebut. Meskipun hal tersebut baru merupakan usulan yang belum tentu diterapkan, tetapi saya ingin meyampaikan beberapa alasan mengenai ketidak setujuan saya. Penerapan Full Day School, tidak terlalu bermanfaat, baik bagi peserta didik maupun pendidik. 
Alasan pertama, Full Day School yang berarti mengharuskan seluruh siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah, baik kegiatan formal ataupun informal seperti ekstrakurikuler, tidak terlalu memberikan manfaat lebih bagi pendidikan siswa. Dengan pemberlakuan peraturan tersebut, siswa seolah menjadi robot tanpa otak. Kemampuan setiap orang untuk berpikir dan bekerja tentu saja berbeda-beda. Demikian juga dengan siswa. Dengan jam kegiatan sekolah yang saat ini berlaku saja, sudah banyak siswa yang mengeluh lelah pada saat jam pelajaran siang. Akhirnya, mereka memilih untuk ramai dikelas ketika guru mengajar. Kalaupun mereka diam, karena mungkin mereka sedang berhadapan dengan guru killer, konsentrasi mereka sudah tidak sepenuhnya berada di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana jika mereka harus menjalankan Full Day School. Tenaga pikiran dan fisik mereka akan terkuras di sekolah, dan mereka tentu enggan mengulang belajar di rumah.
Kedua, keberadaan siswa sepanjang hari di sekolah secara tidak langsung akan membatasi kreativitas mereka. Tempat yang terkesan monoton bersama orang-orang yang juga itu- itu saja membuat mereka seperti terpenjara. Padahal, guru terbaik adalah pengalaman. Bagaimana mereka memperoleh pengalaman lebih untuk mengetahui hal-hal baru, jika keseharian mereka seolah seperti karyawan pabrik yang tidak bisa kemanapun sepanjang jam kerja. Sementara ketika pulang ke rumah, yang tinggal hanya lelahnya. Kreativitas ada karena inspirasi, dan inspirasi didapat dimanapun. Semakin banyak pengalaman, semakin banyak inspirasi yang muncul dalam bayangan.
Ketiga, usulan untuk menyediakan guru ngaji (bagi yang beragama islam) seperti usulan yang menyepelekan. Saat ini begitu banyak aliran- aliran sesat yang muncul di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa akan ada guru yang bisa jadi menyeleweng dari ajaran yang sebenarnya. Apalagi, usia anak sekolah merupakan usia yang labil, mudah terpengaruh oleh apapun yang menarik menurutnya. Selain itu, di era ini begitu banyak orang yang mengaku sebagai ustadz, dengan hanya bermodal peci (tampilan luar saja). Kalaupun pemilihannya dilakukan dengan melalui tes dan didasarkan pada seluk beluk yang telah benar-benar diketahui, apa justru tidak akan menimbulkan pertikaian?. Hal ini karena ajaran agama itu sangat sensitive dengan perbedaan pendapat.
Selanjutnya, pemberlakuan Full Day School, akan terasa tidak sesuai bagi siswa-siswa yang kegiatannya tidak hanya sekolah dan belajar saja. Bagaimana dengan siswa yang sepulang sekolah harus membantu orang tuanya mencari nafkah? Sebagai contoh, beberapa waktu lalu muncul berita di berbagai media tentang Fikri Mabruri, siswa SMK N 2 Salatiga yang merelakan diri untuk berjualan Bakwan Kawi, demi membiayai sekolahnya. Mungkin, masih banyak siswa- siswa seperti Fikri yang tidak tersorot media. Tidak semua anak bisa menikmati seluruh masa sekolahnya dengan hanya belajar dan bermain.
Selain hal-hal tersebut diatas, Full Day School juga cukup memberatkan bagi guru. Dengan hal itu, mau tidak mau, guru juga harus Full Day Teaching, padahal pekerjaan seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga mengurus segala administrasi siswa dan administrasi sekolah. Sementara mereka juga masih mempunyai keluarga  yang membutuhkan mereka. Jika Full Day Teaching memaksa mereka untuk mengajar sepanjang hari, kapan waktu mereka mengerjakan administrasi?. Guru juga bukan robot yang tidak mempunyai rasa lelah.
Katakanlah, jika hal tersebut diterapkan dengan sukses oleh seluruh guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena mereka terikat janji pada negeri, lalu bagaimana dengan guru honorer?. Kebanyakan guru honorer memiliki kerja sambilan di luar jam sekolah, demi menambah penghasilan mereka yang tak seberapa, untuk bertahan hidup. Jika guru honorer pun mau tidak mau harus Full Day Teaching, betapa tersiksanya mereka. Seikhlas apapun para guru honorer, mereka butuh penghasilan lebih untuk hidup.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, menurut saya, jelas 'Full Day School" kurang bermanfaat jika di terapkan.

Salatiga, 9 Agustus 2016, by Ozy Shira


Tidak ada komentar:

Posting Komentar