Sistem Pendidikan
Perguruan Tinggi
“Bentuk Ketidak
Adilan bagi Mahasiswa”
Arti dari kata
sarjana pada umumnya diartikan sebagai orang yang telah menempuh pendidikan di
perguruan tinggi sederajat, dan telah dinyatakan lulus oleh lembaga dimana dia
menempuh pendidikan strata. Akan tetapi, sebagaimana pengalaman yang penulis
alami, pendidikan perguruan tinggi yang sebenarnya hanya terjadi pada
orang-orang tertentu. Mereka adalah mahasiswa yang benar-benar bertujuan untuk
menuntut ilmu. Sistem pendidikan di perguruan tinggi yang jelas berbeda dengan
sistem pendidikan di jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya adalah salah satu
bentuk ketidak adilan bagi mahasiswa.
Penulis
mengatakan demikian karena pada kenyataannya penialaian satu pendidik (baca
dosen) dengan pendidik lainnya sangatlah berbeda. Perguruan tinggi memberikan
kesempatan kepada mahasiswa untuk bertindak sebagai seorang siswa yang
benar-benar “MAHA”. Mahasiswa dapat memilih dosen yang mereka inginkan pada
saat mereka mengisi Kartu Rencana Study (KRS). Berbeda halnya dengan jenjang
Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah
Umum (SMU), serta jenjang-jenjang sekolah lain yang sederajat dengan ketiga
jenjang tersebut. Jenjang-jenjang pendidikan di bawah jenjang perguruan tinggi
memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk mendapat materi pelajaran yang
sama dengan sistem pengukuran kemampuan serta penilaian yang sama, meskipun
guru mereka berbeda.
Berdasarkan
pengalaman penulis, setiap dosen memiliki materi pelajaran yang berbeda dengan
pengukuran kemampuan dan kriteria penilaian yang berbeda, meskipun mata kuliah
yang di ampu dosen satu dengan yang lainnya sama. Sebagai contoh, pada semester
5, sebagai mahasiswa Pendidikan Bahasa
Inggris, penulis mendapatkan materi mengenai tata cara penulisan Mini
Research Report, pada mata kuliah Writing IV. Tentu saja membuat
laporan penelitian itu membutuhkan penelitian juga. Proses pembuatan laporannya
juga membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi sebelumnya masih harus diawali
dengan pengajuan judul dan proposal penelitian. Sementara itu, mahasiswa lain
yang memilih dosen yang berbeda dengan dosen penulis, baru mendapatkan materi
tentang tata cara menulis essay, terutama argumentative essay
pada mata kuliah yang sama. Penulisan teks argumentative, mungkin hanya
membutuhkan waktu beberapa menit saja, tidak serumit membuat laporan
penelitian. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan mahasiswa yang
dapat dikatakan “sangat kentara” pada jenjang yang sama.
Namun
demikian, perbedaan karakter dosen, menyebabkan perbedaan kemampuan siswa yang
sebenarnya sangat kentara itu menjadi benar-benar terselimuti. Beberapa
mahasiswa yang beruntung (mungkin), mendapatkan seorang dosen yang baik hati
(menurut mereka) karena dosen tersebut selalu memberikan nilai yang bagus untuk
mahasiswa. Tetapi, beberapa mahasiswa yang mungkin tidak sadar bahwa dirinya
beruntung (karena mendapatkan dosen killer), merasa menyesal karena
selalu memperoleh nilai jelek dari dosen mereka. Di sinilah sebenarnya awal
dari ketidak adilan itu.
Perbedaan
materi dan tidak adanya standarisasi penilaian menyebabkan istilah “bejo-bejan”
menjadi ciri khas mahasiswa. Karena itulah Indeks Prestasi (IP) yang diterima
oleh masing-masing mahasiswa yang kemudian menentukan predikat seseorang itu
menjadi “sarjana” atau bukan tidak 100% menjamin kemampuan mahasiswa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar