Selamat Datang Di Blognya Ozy Shira

Senin, 03 Maret 2014

Sistem Pendidikan Perguruan Tinggi “Bentuk Ketidak Adilan bagi Mahasiswa”

Sistem Pendidikan Perguruan Tinggi
“Bentuk Ketidak Adilan bagi Mahasiswa”
Arti dari kata sarjana pada umumnya diartikan sebagai orang yang telah menempuh pendidikan di perguruan tinggi sederajat, dan telah dinyatakan lulus oleh lembaga dimana dia menempuh pendidikan strata. Akan tetapi, sebagaimana pengalaman yang penulis alami, pendidikan perguruan tinggi yang sebenarnya hanya terjadi pada orang-orang tertentu. Mereka adalah mahasiswa yang benar-benar bertujuan untuk menuntut ilmu. Sistem pendidikan di perguruan tinggi yang jelas berbeda dengan sistem pendidikan di jenjang-jenjang pendidikan sebelumnya adalah salah satu bentuk ketidak adilan bagi mahasiswa.
Penulis mengatakan demikian karena pada kenyataannya penialaian satu pendidik (baca dosen) dengan pendidik lainnya sangatlah berbeda. Perguruan tinggi memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk bertindak sebagai seorang siswa yang benar-benar “MAHA”. Mahasiswa dapat memilih dosen yang mereka inginkan pada saat mereka mengisi Kartu Rencana Study (KRS). Berbeda halnya dengan jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP) ataupun Sekolah Menengah Umum (SMU), serta jenjang-jenjang sekolah lain yang sederajat dengan ketiga jenjang tersebut. Jenjang-jenjang pendidikan di bawah jenjang perguruan tinggi memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk mendapat materi pelajaran yang sama dengan sistem pengukuran kemampuan serta penilaian yang sama, meskipun guru mereka berbeda.
Berdasarkan pengalaman penulis, setiap dosen memiliki materi pelajaran yang berbeda dengan pengukuran kemampuan dan kriteria penilaian yang berbeda, meskipun mata kuliah yang di ampu dosen satu dengan yang lainnya sama. Sebagai contoh, pada semester 5, sebagai mahasiswa Pendidikan  Bahasa Inggris, penulis mendapatkan materi mengenai tata cara penulisan Mini Research Report, pada mata kuliah Writing IV. Tentu saja membuat laporan penelitian itu membutuhkan penelitian juga. Proses pembuatan laporannya juga membutuhkan waktu yang cukup lama, apalagi sebelumnya masih harus diawali dengan pengajuan judul dan proposal penelitian. Sementara itu, mahasiswa lain yang memilih dosen yang berbeda dengan dosen penulis, baru mendapatkan materi tentang tata cara menulis essay, terutama argumentative essay pada mata kuliah yang sama. Penulisan teks argumentative, mungkin hanya membutuhkan waktu beberapa menit saja, tidak serumit membuat laporan penelitian. Hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan kemampuan mahasiswa yang dapat dikatakan “sangat kentara” pada jenjang yang sama.
Namun demikian, perbedaan karakter dosen, menyebabkan perbedaan kemampuan siswa yang sebenarnya sangat kentara itu menjadi benar-benar terselimuti. Beberapa mahasiswa yang beruntung (mungkin), mendapatkan seorang dosen yang baik hati (menurut mereka) karena dosen tersebut selalu memberikan nilai yang bagus untuk mahasiswa. Tetapi, beberapa mahasiswa yang mungkin tidak sadar bahwa dirinya beruntung (karena mendapatkan dosen killer), merasa menyesal karena selalu memperoleh nilai jelek dari dosen mereka. Di sinilah sebenarnya awal dari ketidak adilan itu.

Perbedaan materi dan tidak adanya standarisasi penilaian menyebabkan istilah “bejo-bejan” menjadi ciri khas mahasiswa. Karena itulah Indeks Prestasi (IP) yang diterima oleh masing-masing mahasiswa yang kemudian menentukan predikat seseorang itu menjadi “sarjana” atau bukan tidak 100% menjamin kemampuan mahasiswa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar