Aku terlalu menyayanginya
Kaos lusuh , keringat pertama
Tak peduli akan warna
Tak peduli akan noda,
Aku hanya ingin bersamanya,
Itu yang kurasa,
Awal Mei 2010, untuk pertama kalinya kupijakkan
kakiku dengan penuh kebanggaan. “RAMAYANA MALL”, sebuah tulisan yang tampak
tertera di muka bangunan yang kutuju. Hari Minggu, hari libur ketika tak ada
perintah lembur untukku. Kakiku melangkah menuju sebuah bangunan megah yang
belum pernah kutuju dengan rasa bangga, sebelumnya. Yaa, memang bukan kali
pertama aku menjelajahi isi bangunan itu. Hanya saja, hari ini adalah kali
pertama aku membawa rasa percaya diri, ketika aku memilih aneka ragam tawaran.
Merah, kuning, hijau, biru, putih, dan ungu.
Serentetan kaos lengan panjang berlabel harga Rp 50.000,- memaksaku untuk
memilah. Tentu saja warna putih adalah pilihan utama. Warna yang selalu
membuatku terpesona. Tanpa pikir panjang, tanganku menjulur, berusaha meraih
pilihan hatiku yang masih tergantung di rak hunger.
“Yupz, langsung ke kasir”, batinku.
Kakiku pun melangkah ke kanan, menuju kasir.
Terlihat antrian panjang para pembeli menutupi meja kasir. Aku enggan
melanjutkan langkah itu, hingga akhirnya mata minus 3,5 ku menangkap sebuah
lambaian kaos kuning lengan panjang di kejauhan. Modelnya hampir sama dengan
benda di tanganku, tapi rasa penasaran pun muncul. Mungkin karena rasa ‘sok
bangga’ku yang seakan segalanya. Yaaah, akhirnya, aku tergiur dengan kaos
berlabel Rp 56.000,- itu. Pikirku, meskipun warnanya tak seindah warna yang kusuka,
setidaknya, ada kekasih untuk si putih.
Deretan pembeli di hadapan kasir-kasir cantik mulai
memendek. Dua baju lengan panjang yang beberapa menit lalu menutupi lenganku
kini berpindah ke tangan wanita cantik berpakaian orange hitam.
“
Seratus Enam Ribu, Mbak”, ucapnya sembari menatap wajahku.
Dengan senyum sok manis, kuulurkan
tangan kananku, menyerahkan lembaran-lembaran hasil keringat pertama, dengan
rasa bangga.
@@@
Aku tak rela,
Jika harus mengubah namanya,
Meski bubur merah menyapa,
Aku tetap tak kuasa,
“Mbak,
lap ya?”, kata Zahara sembari menenteng kaos lusuh yang diambilnya dari rak
jemuran.
“Hei,
itu baru aja aku cuci tadi pagi, besok tak pakai lagi, enak ment tex!”, jawabku
dengan separoh logat khasku.
“Ih,
Mbak Ozy…tak kirain ini lap, abisnya…udah kayak gini sih”.
“Enak
aja, biar gini-gini, lebih berharga daripada baju baru kamu ki…”, balasku tak
terima.
Yaaa…, kaos yang 4
tahun lalu putih bersih, kini telah berubah warna. Lusuh, penuh noda kekuningan
karena getah dan tanah. Tapi, jangan harap, aku akan melepasnya begitu saja.
Aku terlalu menyayaginya. Hingga sekedar menyimpannya pun, aku tak rela. Aku
masih sering memakainya, tanpa rasa malu. Yang ku tahu, aku bangga, memakai
kaos lusuh, hasil keringat pertama, selepas SMA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar