Selamat Datang Di Blognya Ozy Shira

Rabu, 26 Februari 2014

CERPEN -God works in a mysterious way

God works in a mysterious way
By:  Ozy Shira

“Hahahaha....ayo...nambah trussss....” 
“Indahnya dunia....”
Keramaian disebuah malam yang membuatku merasa seolah aku berada di surga. Bebas....melayang....penuh khayalan...dan tanpa beban. Dengan sempoyongan kuraih anggur merah untuk yang kedua kalinya. Meski kutenggak dua botol anggur merah pun, tak kan mengalahkan tubuhku tuk jadi tak berdaya. Kebiasaan telah membuat minuman–minuman dari neraka itu menjadi seolah air putih.
Kehidupan Salatiga memang tak sekeras Kota Metropolitan. Tapi kehidupan keluargakulah yang membuatku menjadi seolah manusia kerak neraka. Sering aku berpikir, mungkin surga benar- benar telah menolak manusia seperti aku.
Setiap hari aku harus mendengar pertengkaran orang tuaku yang aku sendiri tak tahu penyebabnya. Hinggga akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai. Karena menahan stres aku pun memutuskan untuk kabur dari rumah. Waktu itu aku masih duduk di SMA . Mungkin memang sudah cukup dewasa untuk berpikir tentang masalah orang tua ku. Tapi kesibukan orang tua yang selalu menghalangi kami untuk bersama membuatku merasakan kesepian. Apalagi ditambah dengan masalah antara kedua orang tuaku.
Waktu itu aku menemukan bapak dan ibu bertengkar saat aku pulang sekolah. Ini adalah pertengkaran yang kesekian kalinya yang aku dengar. 
“Ini hari terakhir saya di rumah ini !”, kalimat yang sungguh tak pantas aku dengar dari seorang ayah. Kalimat yang secara tak langsung mengatakan bahwa bapak akan pergi dari ibu.
Entah setan apa yang merasuki pikiranku, aku mengurungkan niatku untuk masuk rumah. Kubalikkan tubuhku melawan arah tujuan utama. Berjalan dan terus berjalan tanpa tujuan. Hanya itu yang aku lakukan. Dalam keadaan masih memakai pakaian putih abu-abu, aku susuri kota.
“Hai, kayaknya stres amat, muka ditekuk gitu”, kudengar suara tak ku kenal.
Seorang lelaki sebayaku menghampiriku. Lusuh, dengan celana pensil berantai di pinggangnya, kaos merah berpadu dengan rompi aneh penuh hiasan logam berwarna perak. Rambut  sebahu bercat merah dan tindik di telinga dan hidungnya memberikan kesan sangar. Tubuhku terasa gemetar tak menentu. Rasa takut menyeruak. 
“Hai, tak usah takut begitu lah...biasa aja...”, rupanya ketakutanku terlihat olehnya, meski berada dalam gelap malam.
“Heh, ini jam udah jam sebelas malem, ngapain masih kluyuran ? Pake seragam lagi...kabur loe ??”.
Masih dalam rasa takut aku menjawab pertanyaannya. Sepertinya dia tak ingin berbuat jahat.
“Kok tahu kalo aku kabur...?”.
Hanya sebuah senyuman yang kuterima. Tanpa basa- basi dia rangkul aku dan membawaku ke sebuah tempat.
“Kalo loe mau, loe bisa tinggal disini....Mereka semua temen-temen hidup gue...”
Sejak itulah aku tak lagi mengenal sekolah. Aku hidup dilingkungan orang- orang yang tadinya membuat aku takut. Aku pun mengubah penampilanku seperti mereka. Laki- laki yang menemukan aku adalah pimpinan semua preman di tempat itu. Seolah tak lagi aku mengenal adanya Tuhan dalam hidupku. Yang aku miliki sekarang hanya rasa persahabatan dan kenikmatan surga dunia.
Rokok, chivas, bahkan ganja dan sabu-sabu, kini senantiasa mengisi hari-hariku. Segala hal yang merugikan orang lain aku lakukan untuk mendapatkan uang. Sesekali kami adakan pesta miras. Aku raih chivas berjajar yang ada,  aku tenggak. Rasanya pahit, panas dan gatal di tenggorokan. Lalu kurasakan perlahan aku melayang tanpa beban. Hingga aku tak sadarkan diri. 
Keringnya tenggorokan, mualnya perut, dan muntah serta lemahnya tubuhku setiap pagi karena beberapa botol chivas tak membuat aku jera, justru aku semakin bergantung pada minuman itu.
Kadangkala kami rasakan kenikmatan tembakau Sampurna Mild yang telah berpadu dengan ganja. Kami hisap dan kami telan asap bakarannya, hingga kami melayang. Bahkan, bakaran tepung kristal dalam alumunium voil pun tak asing lagi bagi kami. Rasa dingin yang sangat kami alami setiap kali asap bong memasuki tubuh kami. Akan tetapi, rasa enjoy mengalahkan rasa dingin itu.
Tiga bulan aku tak menginjakkan kaki di rumahku, tapi tak ku ketahui satupun keluarga yang mencariku. Hal ini mendorongku untuk pulang, sekedar memastikan bagaimana keadaan rumahku kini. Sampai disebuah jalan menuju sekolah adikku, seseorang yang tak asing memanggilku.
“Kak Putra...!”
sesosok gadis berseragam putih biru berlari ke arahku dan memelukku. Sejenak kami terhanyut dalam tangis penyesalan.
“Kak...pulang kak...pulang sama Sani kak...Sani sendirian...”.
Aku terpaku tanpa kata, memandang gadis dengan tatapan rindu. Dia merengek memohon padaku untuk pulang.
“Kalo kak putra gak pulang aku ikutin terus sanpai kakak mau pulang”, Sani mengancam ditengah- tengah isaknya.
“Sani...,kamu udah gede...”, tanpa kata lain aku berjalan menuju tempat tinggalku. Dalam hati aku berharap Sani tak mengikutiku. Sesekali kutengok belakang, tak ada dia dibelakangku. Rasa tenang melingkupiku. Kuurungkan niat untuk pulang, karena aku telah melihat Sani dalam keadaan baik-baik saja. Dia adalah satu-satunya orang yang paling aku sayangi selama ini. Aku rindu kemanjaannya, aku rindu tawanya dan aku rindu kecohan mulutnya.
Seperti biasa aku isi malam ini dengan botol- botol pembunuh akal. Tiga botol ku tenggak. Tanpa kusadari ternyata Sani melihat semua yang kulakukan ini. Rupanya dia mengikutiku tanpa aku ketahui.
“Kak, itu gak boleh...sadar dong kak...kasihan ibu...kasihan bapak di alam sana...mereka sedih liat kakak kayak gini...”kata Sani disertai dengan air mata.
Meski dalam keadaan setengah sadar aku terkejut dengan kalimatnya. Kata “alam sana” membuat aku mendekati Sani dalam rasa penasaranku.
“Sani, alam sana ?”, kugoncangkan tubuh Sani, ku kerutkan dahi, ku tatap lekat matanya. 
“Bapak meninggal dalam kecelakaan waktu hendak pergi dari rumah....Satu bulan kemudian Ibu juga meninggal karena menyesali kepergian bapak dan mengharapkan kepulangan kakak, hingga sakit. Kami semua sudah berusaha mencari kakak untuk ibu, tapi tak pernah ada hasil”.
Seketika tubuhku lemas tak berdaya. Seribu penyesalan aku rasakan. Ingin rasanya aku bunuh diriku sendiri. Tanpa pikir panjang, ku ambil sebuah kunci motor milik Praja, pimpinan kami.
“Sani, ayo pulang”.
“Tapi kan kakak mabuk. Bahaya kak...”
“Kakak bilang, pulang...kakak bisa...”, aku bersikeras. Ingin rasanya aku segera sampai di rumah.
Dalam keadaan setengah mabuk kukemudikan motor itu. Hingga aku sadari aku telah berada di sebuah ranjang pesakitan. 
“Kamu sudah sadar nak..? , syukurlah...”.aku sangat mengenali suara itu.Bukan Sani, tapi itu suara Budhe, wanita yang selama ini tinggal bersama keluargaku. 
Pandanganku kosong. Tak ada yang kuingat, kecuali Sani. Ya, Sani, dimana dia ? Batinku bertanya-tanya, mataku mencari-cari. 
“Putra...,maafkan kami...kami terlambat menolong Sani...” Budhe menjelaskan tanpa aku minta. Tampaknya ia mengerti apa yang aku cari. Aku tatap sebuah kalender yang terpasang di dinding ruangan itu. 
“Sekarang tanggal berapa Budhe?”
“ Ya...,kamu koma selama satu bulan....”, dia tahu lagi apa yang aku maksud
“Sani mana ?”, kutanya lagi apa yang sebenarnya telah terjawab sebelumnya, tapi tak ku terima jawaban. Ah....lagi- lagi aku harus merasakan penyesalan ini. Dalam tangis aku ratapi semua kesalahan yang ku perbuat selama ini. Aku teriakkan nama Sani sambil meronta, mengamuk, tanpa mempedulikan selang infus di tanganku.
Tiga hari setelah itu dokter mengizinkanku pulang. Aku merasa tak ada gunanya lagi aku hidup. Aku hanya akan menjadi beban untuk orang-orang disekitarku. Kini aku hanya terduduk didepan sebuah televisi dengan tatapan kosong.
“Putra...,ini dari Sani. Dia menitipkan ini sebelum dia meninggal. Waktu itu dia sempat sadar. ”.
Budhe menyodorkan sebuah CD padaku. Aku langsung memutarnya. Kulihat sosok sani yang ceria berada diatas ranjang dengan kepala berbalut perban, dan selang oksigen melingkarinya. Dengan lemah seolah menahan sakit ia menyampaikan pesan untukku.
“Kak Putra...,aku kangen kakak...aku kangen bareng kakak....Kak.., Sani percaya kakak akan pulang. Sani percaya Kak Putra itu kakak yang paling hebat....Sani percaya kakak bisa buat bapak ibu bangga”.
Film yang sangat singkat tapi menyentuh. Setelah melihat film itu, aku bertekad untuk bangkit. Aku ingin menjadi orang yang bermanfaat. Sesekali aku merasakan keinginan yang cukup besar untuk kembali bergelut dengan barang-barang haram itu lagi. Tapi aku tahan. Niat taubatku dapat mengalahkan ketergantunganku terhadap obat-obat terlarang. 
Aku memutuskan untuk tinggal di sebuah pesantren untuk melanjutkan kehidupanku kearah yang lebih baik. Aku manfaatkan harta warisan orang tuaku untuk mendirikan Rumah Seribu Malaikat untuk menampung anak- anak tunawisma tanpa orang tua dan aku buka sebuah agen pelayanan pariwisata. Ku pekerjakan orang- orang yang membutuhkan pekerjaan. Meskipun tidak banyak orang yang bisa kubantu, tapi, setidaknya aku sudah berusaha untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. 
Aku sadari, inilah kehidupan. Kadang berada dalam kebahagiaan, tapi kadang jatuh dalam penderitaan. Mungkin ini adalah takdirku. Segala sesuatu ada hikmahnya. God works in a mysterious way. Tuhan bekerja dengan cara yang misterius. Kita sebagai hambaNya hanya wajib untuk mensyukurinya. Menghadapi jalannya kehidupan, hingga ajal menjemput.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar