Para
Pejuang Tangguh
Salatiga, 14
Juni 2014
Sosok
itu berjalan setengah membungkuk, memikul keranjang bambu, sembari berusaha
memperdengarkan suara paraunya di antara kerumunan mahasiswa.
“Taaapee…taaapee…”, ya, itu yang dia ucapkan di sepanjang jalanan
kampus.
Dia terus
berucap, meski tak satupun orang menghiraukannya. Dia terus berjalan di bawah
terik sang surya yang tengah memuncak, tepat diatas kepala.
Deg!
Deg!…Serasa jantung ini berdetak semakin kencang, dan mata ini…seakan enggan
berbinar. Aku malu. Aku benar-benar malu pada diriku sendiri. Aku malu pada
dunia, dan aku malu kepada NYA. Allah menciptakan laki-laki berkepala delapan
itu, sebagai sosok yang terlalu kuat, lalu DIA memperlihatkannya padaku. Tak
cukup lama dia berada dihadapanku karena aku harus segera pergi dari tempat
itu. Sungguh menyesal hati ini, ketika aku hanya melihatnya dari kejauhan.
Jarum
jam menunjuk pukul delapan malam. Aku beranjak pulang, berjalan menyusuri
trotoar menuju terminal, DIA mempertemukanku dengan sosok kuat itu kembali. Di
tengah kegelapan malam tampak seorang kakek terduduk melepas lelah di emperan
sebuah toko. Entahlah, tiba-tiba kaki ini melangkah dengan sendirinya, berusaha
mendekat.
“Pak, niku tape nggih?? Pintenan pak?”, tanyaku seolah aku adalah
pecinta tape.
“Nggih monggo mbak, sak kersane…”, kata lelaki tua dengan penuh
ketulusan.
Aku
memandanginya, rambut putihnya setengah tertutup caping, keriput di wajahnya
sangat kentara, dan tubuhnya seolah tinggal tulang. Perlahan aku mengajaknya
bicara, sembari menunggu tapeku di bungkus, meski aku masih tak tahu, mau ku kemanakan
makanan itu nantinya.
Kakek
itu berasal dari Karanggede, dan dia tengah berjualan di Salatiga. Penjual
keliling. Berkilo-kilo kakinya melangkah, tanpa kenal lelah. Jari- jari kakinya
yang kering berdebu, hanya beralas sandal jepit yang tak cukup indah dilihat.
“Lha, mangkih sare pundi, Pak?”
“Nggih niku ta, ten Masjid Pendowo…”, ujarnya penuh semangat, lalu
dengan lebih semangat dan penuh kebanggaan dia mengatakan bahwa anaknya, adalah
seorang santri yang tengah menghafal Al Qur’an di sebuah pesantren di Salatiga.
Teman, Kakek
itu terlalu kuat, atau kita yang terlalu mudah putus asa?
Hanya demi
pendidikan pesantren untuk anaknya, dia rela berjalan kaki, menghabiskan
waktunya hanya untuk menjual tape yang keuntunganya tak seberapa. Bahkan
mungkin, hanya sekedar untuk ongkos Salatiga-Karanggede pun tak akan cukup.
Lalu…kita???
Bagaimana
dengan kita???
Atau hanya
aku??? bukan kita???
“Aku” sebagai anak, atau “aku”
sebagai manusia pada umumnya….???
Teman. Ozy cm
pengen berbagi, semoga bermanfaat…JJJ
Aku pikir,
“Akulah Gatut Kaca”, tapi ternyata bukan. Atau mungkin belum?. Begitu banyak
para pejuang tangguh yang selama ini lalu lalang dihadapanku, tapi aku tak
sadar. Dari kekek penjual koran di kampus, kakek penjual bunga kertas dan kakek
penjual kacang kedelai di alun-alun, hingga bapak penjual bak Pau.
Setiap
jarum jam menunjuk pukul 09.30 WIB, seorang kakek berbaju krem kecoklatan
berjalan lamban menuju Mading kampus, tempat dimana mahasiswa berkerumun
menunggu jam kuliah selanjutnya tiba. Terlihat sebuah tas kandi berwarna putih
lusuh menggantung di bahunya, terapit diantara lengan kanan dan tubuhnya.
Tangan kirinya melipat, memeluk setumpukan koran harian. Dengan suara lemas,
nyaris tak terdengar, dia berkata pada kerumunan, “kooran…,kooran…”.
Pukul
14.00 WIB, seorang lelaki paruh baya tampak berjalan menjunjung rantang besar
di atas kepalanya, sembari bersuara lantang “ Bak Paunya maaas, Mbaaak… Bak
Pau…! Cuma 2000…”. Pukul 16.30 WIB, seorang kakek usia tujuh puluhan mendorong
gerobak berisi kacang kedelai, di sepanjang alun-alun kota Salatiga. Kemudian
di waktu lain, di alun-alun kota, tampak seorang kakek penjual bunga kertas
yang hanya berharga Rp 300,- menunggui gerobaknya, berharap ada yang datang
membeli dagangannya.
Mereka
semua adalah Para Pejuang Tangguh yang hampir setiap hari membuat mataku
terbuka, lalu memaksaku untuk tak pernah berhenti melangkah. Sekali lagi,
Ozy Cuma pengen berbagi. Mungkin bahasa dalam tulisan ini masih terlalu buruk
untuk pembaca. Tapi, gak usah dilihat bahasanya ya…direnungin isinya aja.
Semoga Bermanfaat…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar