Dia benar-benar telah mengisi hari-hariku. Kadang dia terasa
menyenangkan. Tetapi kadang dia juga menyebalkan. Sering kali dia membuat
masalah denganku, membuat otakku berpikir keras, bahkan membuatku menangis
lelah karena tak lagi mampu menghadapinya. Tapi, sesulit apapun masalah yang
dibuatnya, aku tak pernah benar-benar ingin meninggalkannya. Aku hanya pergi
sejenak untuk mendinginkan otak, lalu kembali lagi dengan senyum ceria. Aku
mulai berpikir untuk kesekian kalinya, tentang bagaimana menghadapi masalah.
Hingga aku benar-benar mampu memahami dirinya dan mampu menyelesaikan masalah
itu.
Kalian tau? Dia sungguh rumit, sulit dipahami. Mungkin, karena itu
sebagian besar teman-temanku tak menyukainya. Lalu, apa aku gila ketika aku
jatuh cinta padanya? Atau aku terlalu bodoh? Aku rasa tidak, mungkin menurutku,
dia unik. Dia beda, penuh teka-teki, dan pastinya selalu bisa memancing rasa
ingin tahu. Mungkin juga, aku memang buta, seperti cinta. Tak mampu memilih
mana yang lebih mudah untuk dipilih dan dipahami. Tapi, hatiku selalu
mengatakan “terserah”. Dia terlalu indah untuk sekedar aku lewatkan. Rumitnya
adalah seni kehidupan. Kadang mudah, kadang juga susah. Aku terlanjur jatuh
cinta padanya.
Suatu hari, Tuhan berkehendak lain. Aku tidak diijinkan untuk
bersamanya ketika aku merasa aku telah dewasa, dan berhak untuk memilihnya
sebagai teman hidupku. Tuhan memang tidak memisahkan kita sepenuhnya. Tetapi,
DIA mendatangkan pihak ketiga, dan tentu saja aku tak punya rasa padanya. Hanya
saja, tak adil rasanya jika aku meninggalkan yang kucinta demi pihak yang
memaksa.
BAHASA INGGRIS, namanya. Dia mengejarku sejak aku duduk di kelas 5
Sekolah Dasar. Dia memaksaku untuk memahaminya, meski aku sama sekali tak
menyukainya. Dia benar- benar menyebalkan, dan membosankan. Bahkan, untuk
sekedar bertemu saja aku enggan. Kalaupun terpaksa bertemu, aku hanya
membiarkannya berbicara denganku, tanpa aku pedulikan. Masuk telinga kanan,
keluar telinga kiri. Kejam memang, tapi aku tak ingin dipaksa.
Hingga seiring dengan semakin dewasanya pemikiranku, aku sadar,
bahwa Takdir Tuhan hanya perlu di syukuri. Tuhan lebih mengetahui mana yang
terbaik untuk diri kita. Akhirnya, aku mencoba menikmati kebersamaan dengannya,
meski aku masih tak memutuskan hubungan dengan Matematika. Tidak ada pilihan
lain, Tuhan membawa kakiku berpijak di rumah Bahasa Inggris, bukan membawaku ke
rumah Matematika. Mau tidak mau, bumi Bahasa Inggris yang harus ku junjung.
Aku telah hidup bertahun- tahun dengan Bahasa Inggris, tetapi
pemahamanku pada dirinya, masih tak bisa sedalam aku memahami Matematika.
Kadang aku menangis ketika merindukan yang sebelumnya, aku berharap waktu
terulang kembali, ke masa saat Tuhan belum memisahkan kita. Tapi apa daya, jika
aku tak mampu memiliki apa yang aku cintai, aku tetap harus mencintai apa yang
ada dihadapanku.
Sampai saat ini, aku masih berusaha mencintai Bahasa Inggis, dengan
setulus hatiku. Tapi aku masih tak mampu. Berkali-kali, ketika aku keluar dari
rumah Bahasa Inggris, aku menemui Matematika, sekadar berbagi masalah dan
cerita. Dia masih setia. Menungguku di rumahnya, berharap aku kembali padanya. Hingga
akhirnya, aku memutuskan untuk tetap bersamanya, meski harus berada diantara
sela-sela waktuku bersama Bahasa Inggris. Karena aku masih mencintainya, si
Matematika. Betapa sulitnya Move On dari Cinta Pertama.
NB: Masih cerita iseng. Thanks for reading my sentences.
Salatiga, 18
September 2016 at 17:00 WIB
By Ozy Shira