Menanggapi usulan Menteri Pendidikan baru, Muhadjir Effendy, yang
dimuat dalam http://edukasi.kompas.com/
pada Senin, 8 Agustus 2016 | 12:46 WIB mengenai Full Day School, saya kurang setuju
dengan kebijakan tersebut. Meskipun hal tersebut baru merupakan usulan yang
belum tentu diterapkan, tetapi saya ingin meyampaikan beberapa alasan mengenai
ketidak setujuan saya. Penerapan Full Day School, tidak terlalu bermanfaat,
baik bagi peserta didik maupun pendidik.
Alasan pertama, Full Day School yang berarti mengharuskan seluruh
siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar di sekolah, baik kegiatan
formal ataupun informal seperti ekstrakurikuler, tidak terlalu memberikan
manfaat lebih bagi pendidikan siswa. Dengan pemberlakuan peraturan tersebut,
siswa seolah menjadi robot tanpa otak. Kemampuan setiap orang untuk berpikir
dan bekerja tentu saja berbeda-beda. Demikian juga dengan siswa. Dengan jam
kegiatan sekolah yang saat ini berlaku saja, sudah banyak siswa yang mengeluh
lelah pada saat jam pelajaran siang. Akhirnya, mereka memilih untuk ramai
dikelas ketika guru mengajar. Kalaupun mereka diam, karena mungkin mereka
sedang berhadapan dengan guru killer, konsentrasi mereka sudah tidak
sepenuhnya berada di sekolah. Bisa dibayangkan bagaimana jika mereka harus
menjalankan Full Day School. Tenaga pikiran dan fisik mereka akan terkuras di
sekolah, dan mereka tentu enggan mengulang belajar di rumah.
Kedua, keberadaan siswa sepanjang hari di sekolah secara tidak
langsung akan membatasi kreativitas mereka. Tempat yang terkesan monoton
bersama orang-orang yang juga itu- itu saja membuat mereka seperti terpenjara.
Padahal, guru terbaik adalah pengalaman. Bagaimana mereka memperoleh pengalaman
lebih untuk mengetahui hal-hal baru, jika keseharian mereka seolah seperti
karyawan pabrik yang tidak bisa kemanapun sepanjang jam kerja. Sementara ketika
pulang ke rumah, yang tinggal hanya lelahnya. Kreativitas ada karena inspirasi,
dan inspirasi didapat dimanapun. Semakin banyak pengalaman, semakin banyak
inspirasi yang muncul dalam bayangan.
Ketiga, usulan untuk menyediakan guru ngaji (bagi yang beragama
islam) seperti usulan yang menyepelekan. Saat ini begitu banyak aliran- aliran
sesat yang muncul di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dengan demikian, tidak
menutup kemungkinan bahwa akan ada guru yang bisa jadi menyeleweng dari ajaran
yang sebenarnya. Apalagi, usia anak sekolah merupakan usia yang labil, mudah
terpengaruh oleh apapun yang menarik menurutnya. Selain itu, di era ini begitu
banyak orang yang mengaku sebagai ustadz, dengan hanya bermodal peci (tampilan
luar saja). Kalaupun pemilihannya dilakukan dengan melalui tes dan didasarkan
pada seluk beluk yang telah benar-benar diketahui, apa justru tidak akan
menimbulkan pertikaian?. Hal ini karena ajaran agama itu sangat sensitive
dengan perbedaan pendapat.
Selanjutnya, pemberlakuan Full Day School, akan terasa tidak sesuai
bagi siswa-siswa yang kegiatannya tidak hanya sekolah dan belajar saja. Bagaimana
dengan siswa yang sepulang sekolah harus membantu orang tuanya mencari nafkah?
Sebagai contoh, beberapa waktu lalu muncul berita di berbagai media tentang Fikri
Mabruri, siswa SMK N 2 Salatiga yang merelakan diri untuk berjualan Bakwan
Kawi, demi membiayai sekolahnya. Mungkin, masih banyak siswa- siswa seperti
Fikri yang tidak tersorot media. Tidak semua anak bisa menikmati seluruh masa
sekolahnya dengan hanya belajar dan bermain.
Selain hal-hal tersebut diatas, Full Day School juga cukup
memberatkan bagi guru. Dengan hal itu, mau tidak mau, guru juga harus Full Day
Teaching, padahal pekerjaan seorang guru tidak hanya mengajar, tetapi juga
mengurus segala administrasi siswa dan administrasi sekolah. Sementara mereka
juga masih mempunyai keluarga yang
membutuhkan mereka. Jika Full Day Teaching memaksa mereka untuk mengajar
sepanjang hari, kapan waktu mereka mengerjakan administrasi?. Guru juga bukan
robot yang tidak mempunyai rasa lelah.
Katakanlah, jika hal tersebut diterapkan dengan sukses oleh seluruh
guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena mereka terikat janji
pada negeri, lalu bagaimana dengan guru honorer?. Kebanyakan guru honorer
memiliki kerja sambilan di luar jam sekolah, demi menambah penghasilan mereka
yang tak seberapa, untuk bertahan hidup. Jika guru honorer pun mau tidak mau
harus Full Day Teaching, betapa tersiksanya mereka. Seikhlas apapun para guru
honorer, mereka butuh penghasilan lebih untuk hidup.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, menurut saya, jelas 'Full Day School" kurang bermanfaat jika di terapkan.
Salatiga, 9 Agustus 2016, by Ozy Shira
Salatiga, 9 Agustus 2016, by Ozy Shira