Selamat Datang Di Blognya Ozy Shira

Rabu, 29 Oktober 2014

Motivasi - The Stranger

Belajar tentang kehidupan itu terkadang sulit, namun menyenangkan. Penuh tantangan. “The Stranger” demikian penulis memanggilnya. Dia mengajarkan banyak hal, tentang makna hati dalam kehidupan. Melalui Power Point ini, terimakasih tak terkira penulis ungkapkaan kepada The Stranger. Karenanya, penulis mengerti, apa yang harus penulis pahami.Semoga hasil karya ini dapat memberikan manfaat, tidak hanya bagi penulis saja namun juga bagi seluruh pembaca tercinta… 



Minggu, 26 Oktober 2014

Kaos Lusuh, Keringat Pertama

Aku terlalu menyayanginya
Kaos lusuh , keringat pertama
Tak peduli akan warna
Tak peduli akan noda,
Aku hanya ingin bersamanya,
Itu yang kurasa,

Awal Mei 2010, untuk pertama kalinya kupijakkan kakiku dengan penuh kebanggaan. “RAMAYANA MALL”, sebuah tulisan yang tampak tertera di muka bangunan yang kutuju. Hari Minggu, hari libur ketika tak ada perintah lembur untukku. Kakiku melangkah menuju sebuah bangunan megah yang belum pernah kutuju dengan rasa bangga, sebelumnya. Yaa, memang bukan kali pertama aku menjelajahi isi bangunan itu. Hanya saja, hari ini adalah kali pertama aku membawa rasa percaya diri, ketika aku memilih aneka ragam tawaran.
Merah, kuning, hijau, biru, putih, dan ungu. Serentetan kaos lengan panjang berlabel harga Rp 50.000,- memaksaku untuk memilah. Tentu saja warna putih adalah pilihan utama. Warna yang selalu membuatku terpesona. Tanpa pikir panjang, tanganku menjulur, berusaha meraih pilihan hatiku yang masih tergantung di rak hunger. “Yupz, langsung ke kasir”, batinku.
Kakiku pun melangkah ke kanan, menuju kasir. Terlihat antrian panjang para pembeli menutupi meja kasir. Aku enggan melanjutkan langkah itu, hingga akhirnya mata minus 3,5 ku menangkap sebuah lambaian kaos kuning lengan panjang di kejauhan. Modelnya hampir sama dengan benda di tanganku, tapi rasa penasaran pun muncul. Mungkin karena rasa ‘sok bangga’ku yang seakan segalanya. Yaaah, akhirnya, aku tergiur dengan kaos berlabel Rp 56.000,- itu. Pikirku, meskipun warnanya tak seindah warna yang kusuka, setidaknya, ada kekasih untuk si putih.
Deretan pembeli di hadapan kasir-kasir cantik mulai memendek. Dua baju lengan panjang yang beberapa menit lalu menutupi lenganku kini berpindah ke tangan wanita cantik berpakaian orange hitam.
“ Seratus Enam Ribu, Mbak”, ucapnya sembari menatap wajahku.
            Dengan senyum sok manis, kuulurkan tangan kananku, menyerahkan lembaran-lembaran hasil keringat pertama, dengan rasa bangga.
@@@
Aku tak rela,
Jika harus mengubah namanya,
Meski bubur merah menyapa,
Aku tetap tak kuasa,

“Mbak, lap ya?”, kata Zahara sembari menenteng kaos lusuh yang diambilnya dari rak jemuran.
“Hei, itu baru aja aku cuci tadi pagi, besok tak pakai lagi, enak ment tex!”, jawabku dengan separoh logat khasku.
“Ih, Mbak Ozy…tak kirain ini lap, abisnya…udah kayak gini sih”.
“Enak aja, biar gini-gini, lebih berharga daripada baju baru kamu ki…”, balasku tak terima.

Yaaa…, kaos yang 4 tahun lalu putih bersih, kini telah berubah warna. Lusuh, penuh noda kekuningan karena getah dan tanah. Tapi, jangan harap, aku akan melepasnya begitu saja. Aku terlalu menyayaginya. Hingga sekedar menyimpannya pun, aku tak rela. Aku masih sering memakainya, tanpa rasa malu. Yang ku tahu, aku bangga, memakai kaos lusuh, hasil keringat pertama, selepas SMA.

Jumat, 03 Oktober 2014

KITA BUTUH IDE, BUKAN IDEOLOGI

Berbagai perdebatan bahkan pertikaian terjadi hanya karena perbedaan ideologi. Mengapa ideologi selalu menjadi alasan untuk saling menjatuhkan? Bukankah semua ideologi itu baik dan benar? Bukankah semua ideologi itu diciptakan untuk menjadi pedoman dalam mencapai tujuan yang baik? Lalu, kenapa harus saling menyalahkan? Aneh, tapi ini kenyataan yang terjadi di lingkungan kita.
Ideologi adalah rangkaian suatu ide-ide yang satu sama lainnya secara logis (in logical way) memiliki keterkaitan. Menurut pakar ilmu politik Roy C. Macridis (1989) ada empat kriteria untuk membedakan ide dengan ideologi antara lain:

  • .      Comprehensiveness, yakni suatu kriteria yang memenuhi syarat menyeluruh dan luas. Suatu ideology yang matang (a full- fledge ideology) haruslah mencakup serangkaian ide-ide yang mencakup banyak hal termasuk ide besar tentang realitas kehidupan di dunia ini.
  • .      Pervasiveness, yakni suatu rangkaian ide-ide yang secara khusus tidak hanya dikenal sebagai suatu ideologi, tetapi juga telah membentuk keyakinan dan sikap politik dari banyak orang.
  • .      Existensiveness, yakni di mana ideologi merupakan suatu rangkaian ide-ide yang diikuti oleh banyak orang, dan memainkan peran yang amat menonjol dalam percaturan politik suatu bangsa atau lebih.
  • .      Intensiveness, yakni dimana ideologi merupakan suatu rangkaian ide-ide yang bisa memberikan suatu komitmen yang kuat bagi pengikut setianya dan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keyakinan dan tindakan politiknya.
Sementara itu, berdasarkan perspektif intelektual, terdapat empat komponen dasar ideologi, yaitu:

  • .      Suatu ideology mempunyai nilai (value), yaitu suatu subjek  atau situasi yang dianggap sangat berharga dan mulia, ,merupakan sesuatu yang harus di perjuangkan dan dicapai.
  • .      Suatu ideologi mempunyai visi tentang sebuah politik yang ideal. Setiap ideologi dilengkapi dengan visi yang menggambarkan bagaimana wujud realisasi dari suatu politik yang dikelola dengan cara terbaik.
  • .      Suatu ideologi harus mengandung suatu konsepsi setiap manusia (human nature), yakni mengenai apa yang dapat diperbuat oleh manusia, masyarakat dan pemerintah.
  • .      Suatu ideologi mempunyai strategy for action dan political tactic, untuk mengubah kebijakan yang ada menjadi suatu kebijakan yang diidealkan. (Thoha, 2003: 81-86)
Keberadaan ideologi itu sangat penting, bahkan memang harus ada. Tetapi, setiap ideologi memiliki tempat operasional masing-masing. Setiap ideologi memiliki pusat penerapan tersendiri. Ideologi itu selalu memposisikan diri di tempat yang tepat untuk dia memposisikan diri. Lalu, apa salah ideologi, hingga orang-orang yang berideologi justru memperdebatkan kebenaran ideologi masing-masing? Lalu bagaimana dengan orang-orang yang menjadi korban perdebatan itu? Tidakkah terpikirkan oleh kaum ideologis tentang hal itu?
Ijinkan penulis menggunakan sudut pandang “aku” dalam penulisan selanjutnya, untuk melukiskan sebuah tempat.
Ijinkan aku menuntut,
Aku ingin menuntut sebuah keadilan…
Keadilan yang selalu menjadi dambaan,
Bisakah, kalian orang-orang berideologi sadar posisi?
Dimana kalian berada?
Dan dimana kalian berkata?

Aku punya aturan,
Dan tempatku bukan tempat perdebatan,
Aku punya aturan,
Dan tempatku bukan tempat untuk menjadikan ideologi sebagai alasan,
Aku hanya butuh “Ide”, bukan “Ideologi”,
Ide untuk kemajuan,
Ide untuk perjalanan,
Dan ide untuk kehidupan
Karena aku adalah tempat persatuan,
Ruang kebersamaan,
Arena perjuangan,
            Suatu area kadang hanya membutuhkan ide- ide tanpa ideologi. Sebuah tempat kadang membutuhkan kesadaran para ideologis untuk sesekali menyatukan pikiran, demi kemajuan. Sebuah tempat kadang membutuhkan kehidupan tanpa perdebatan. Jika sesuatu dapat dilakukan bersama, kenapa harus memendam rasa? “Aku” dalam puisi di atas mengungkapkan bahwa suatu perkumpulan atau sebut saja organisasi yang memiliki aturan, hanya berharap kepada para anggotanya untuk sejenak saja mengedepankan ide dan meninggalkan ideologi, hanya ketika berada di dalam organisasi itu, demi kemajuan organisasi.