Tatapan Kosong
By: Ozy Shira
Angin malam
merasuk melalui pori-pori kulitku,
membuatku semakin menggigil dalam tangis pengantar tidurku. Memory-memory itu
muncul begitu saja tanpa seizinku. Yaa, mereka selalu lalu lalang melintasi
benak dikala aku hampa. Mereka berlari kesana kemari membuat otakku seperti
jalan raya tanpa lampu lalu lintas. Tak beraturan. Yang kutahu, hanya tangisan
yang menjemput mimpi-mimpi malamku. Seperti serentetan gerbong kereta, mereka
datang dengan nada berisik mengguncang. Berbagai kegiatan yang berjajar di
tahun 2013, tak satupun yang aku masukkan dalam keseharianku sebagai pengurus
Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Gerbong kereta
pertama mengatakan, “kemana saja kamu waktu Perekrutan Anggota?”
Gerbong kereta
kedua mengatakan, “Kamu juga gak datang waktu Pendidikan Pers”
Gerbong kereta
ketiga mengatakan, “Bukankan pendidikan crew magang seharusnya menjadi
tanggung jawabmu?”. Semua itu terngiang ditelingaku.
Kesibukanku
selalu berakhir tepat jam 21.00, dan saat itulah kehampaan menghampiriku.
Kadang aku mencari kesibukan lain hingga aku lelah kemudian aku tertidur lelap,
namun ketika hembusan angin dini hari memasuki kamarku, melalui celah-celah
ventilasi jendela, mataku membuka, lalu dalam hitungan detik memory itu kembali
melintas bagai angkutan umum tak butuh penumpang. Melaju dengan kecepatan
tinggi, berbolak-balik seolah tak mengenal terminal. Hingga kelopakku tak lagi
mampu membendung butiran-butiran bening yang hendak membanjiri pipiku.
Aku sadar, aku mampu menjawab semua pertanyaan
gerbong-gerbong kereta itu. Aku lebih
memilih untuk pergi bersama teman-temanku untuk hang out kesana kemari,
yang kuakui itu sama sekali tidak penting dan bisa aku lakukan dilain
waktu, daripada aku harus mengikuti susahnya crew menyiapkan segala
sesuatu menjelang Perekrutan Anggota. Aku lebih memilih untuk duduk manis di
depan lap top, berkecimpung di dunia maya, berbicara dalam segala bentuk
social media, daripada harus menjadi pelaksana Pendidikan Pers. Aku
selalu merasa facebook, twitter, dan jalan-jalan, lebih penting daripada
melaksanakan tanggung jawabku, bahkan lebih penting daripada hanya sekedar
menghadiri rapat.
“Lembur bareng
LPM with Kania Rosalia, Pranata Kamal, Raden Ageng Tirtayasa, Purnama Kembar,
Kolonial Cakep, Mavia Warsa, Maria Noeriena. At LPM Office”, aku ingat sebuah
status facebooker dengan nama akun Carisa Cuwex melintasi berandaku
pada suatu malam pukul 22.30 . Sebuah status yang menunjukkan bahwa hatiku
telah mati. Aku sama sekali tak peduli dengan kemajuan LPM. Aku sama sekali tak
merasa iba, mengetahui sahabat-sahabat yang dahulu adalah sahabat
seperjuanganku menuju LPM tengah bekerja keras untuk LPM. Justru aku duduk
manis menikmati game-game online.
Adzan subuh
berkumandang, mengingatkanku bahwa masih ada hal yang lebih layak untuk kutangisi.
Lebih baik aku menangisi diamku saat ini daripada aku menangisi kesalahanku
yang telah lalu. Yaa, kenapa aku hanya diam? Kenapa aku tak berbuat sesuatu?.
Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang putus asa? Bukankah Allah selalu
menerima taubat hambanya?.
“Bodoh!”,
kataku pada diriku sendiri.
Saatnya aku
berdiri, mencari hal yang membuatku menangis selama satu bulan liburan kuliah.
Dan aku teringat bahwa yang membuatku menangis adalah hari itu, hari dimana Musyawarah
Besar (MUBES) dan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) dilaksanakan.
Hari itu,
tepatnya pukul 10.00, setelah ketiga presidium sidang terpilih menjadi pemimpin
Sidang Pleno I, semua pengurus LPM menuju ke muka peserta MUBES. Kami akan
menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban kami selama satu tahun masa
kepengurusan. Betapa mudahnya mulut ini mengucap semua kebohongan yang aku
buat. Aku membaca laporan pertanggungjawabanku yang tak pernah kulakukan dengan
tanganku. Tak pernah aku langkahkan dengan kakiku. Tak pernah aku buat dengan
pikiranku. Betapa mudahnya aku mengatakan bahwa semuanya telah terlaksana,
padahal bukan akulah sang pelaksananya.
Hingga aku
sadar, keesokan harinya, kaki ini terasa berat melangkah memasuki kantor LPM.
“Yes !, aku
bebaaaaasssss…!”, teriak Carisa meluapkan kebahagiaannya sembari mengangkat
kedua tangannya keatas seakan baru saja mendapatkan udara segar setelah sekian
lama terkurung dalam ruang pengap.
“Alhamdulillah
ya…, akhirnya kita jadi demisioner juga…”, sahut Maria dengan gaya
ke-Syahrini-annya.
Mendengar kata-kata
mereka, membuatku bertanya pada diriku sendiri. ‘Kenapa aku tak merasakan
seperti yang mereka rasakan?. Aku sama sekali tak merasakan kelegaan seperti
kelegaan mereka. Yang aku rasakan hanya kehampaan tanpa pengalaman dan
kekosongan tanpa kenangan. Aku bertanya pada diriku sendiri, ‘apa aku pernah
berorganisasi?’, namun aku tak mampu menjawabnya.
Kini pikiranku
diselimuti rasa berdosa, rasa bersalah yang tak kunjung hilang dari benakku.
Benar kata orang, bahwa penyesalan itu datangnya di akhir. Betapa layaknya aku
disebut sebagai seorang penipu, pembohong, pengecut dan bahkan koruptor
sekalipun. Aku telah berlari dari tanggung jawabku sebagai pengurus, aku
melimpahkan tanggung jawabku kepada orang lain tanpa kata “tolong” ataupun
“maaf”, lalu aku mengakui terlaksananya tanggung jawabku sebagai pengurus tanpa
kata “terimakasih”. Hah, betapa munafiknya aku. Betapa kejamnya aku. Betapa
mengecewakannya aku. Aku telah melalaikan tugas yang orang-orang percayakan
padaku. Sungguh, kini aku menyesal.
Waktu sudah
berlalu. Nasi telah menjadi bubur. Yang aku rasakan kini hanya sebuah tatapan
kosong. Aku tak tau, harus bagaimana untuk menebus semua kesalahanku. Aku lelah
dikejar-kejar rasa bersalah. Aku letih dirundung rasa sedih. Tapi aku malu
mengakui kesalahanku.