Selamat Datang Di Blognya Ozy Shira

Jumat, 25 April 2014

TATAPAN KOSONG

Tatapan Kosong
By: Ozy Shira
Angin malam merasuk  melalui pori-pori kulitku, membuatku semakin menggigil dalam tangis pengantar tidurku. Memory-memory itu muncul begitu saja tanpa seizinku. Yaa, mereka selalu lalu lalang melintasi benak dikala aku hampa. Mereka berlari kesana kemari membuat otakku seperti jalan raya tanpa lampu lalu lintas. Tak beraturan. Yang kutahu, hanya tangisan yang menjemput mimpi-mimpi malamku. Seperti serentetan gerbong kereta, mereka datang dengan nada berisik mengguncang. Berbagai kegiatan yang berjajar di tahun 2013, tak satupun yang aku masukkan dalam keseharianku sebagai pengurus Lembaga Pers Mahasiswa (LPM).
Gerbong kereta pertama mengatakan, “kemana saja kamu waktu Perekrutan Anggota?”
Gerbong kereta kedua mengatakan, “Kamu juga gak datang waktu Pendidikan Pers”
Gerbong kereta ketiga mengatakan, “Bukankan pendidikan crew magang seharusnya menjadi tanggung jawabmu?”. Semua itu terngiang ditelingaku.
Kesibukanku selalu berakhir tepat jam 21.00, dan saat itulah kehampaan menghampiriku. Kadang aku mencari kesibukan lain hingga aku lelah kemudian aku tertidur lelap, namun ketika hembusan angin dini hari memasuki kamarku, melalui celah-celah ventilasi jendela, mataku membuka, lalu dalam hitungan detik memory itu kembali melintas bagai angkutan umum tak butuh penumpang. Melaju dengan kecepatan tinggi, berbolak-balik seolah tak mengenal terminal. Hingga kelopakku tak lagi mampu membendung butiran-butiran bening yang hendak membanjiri pipiku.
 Aku sadar, aku mampu menjawab semua pertanyaan gerbong-gerbong kereta itu.  Aku lebih memilih untuk pergi bersama teman-temanku untuk hang out kesana kemari, yang kuakui itu sama sekali tidak penting dan bisa aku lakukan dilain waktu, daripada aku harus mengikuti susahnya crew menyiapkan segala sesuatu menjelang Perekrutan Anggota. Aku lebih memilih untuk duduk manis di depan lap top, berkecimpung di dunia maya, berbicara dalam segala bentuk social media, daripada harus menjadi pelaksana Pendidikan Pers. Aku selalu merasa facebook, twitter, dan jalan-jalan, lebih penting daripada melaksanakan tanggung jawabku, bahkan lebih penting daripada hanya sekedar menghadiri rapat.
“Lembur bareng LPM with Kania Rosalia, Pranata Kamal, Raden Ageng Tirtayasa, Purnama Kembar, Kolonial Cakep, Mavia Warsa, Maria Noeriena. At LPM Office”, aku ingat sebuah status facebooker dengan nama akun Carisa Cuwex melintasi berandaku pada suatu malam pukul 22.30 . Sebuah status yang menunjukkan bahwa hatiku telah mati. Aku sama sekali tak peduli dengan kemajuan LPM. Aku sama sekali tak merasa iba, mengetahui sahabat-sahabat yang dahulu adalah sahabat seperjuanganku menuju LPM tengah bekerja keras untuk LPM. Justru aku duduk manis menikmati game-game online.
Adzan subuh berkumandang, mengingatkanku bahwa masih ada hal yang lebih layak untuk kutangisi. Lebih baik aku menangisi diamku saat ini daripada aku menangisi kesalahanku yang telah lalu. Yaa, kenapa aku hanya diam? Kenapa aku tak berbuat sesuatu?. Bukankah Allah tidak menyukai orang-orang yang putus asa? Bukankah Allah selalu menerima taubat hambanya?.
“Bodoh!”, kataku pada diriku sendiri.
Saatnya aku berdiri, mencari hal yang membuatku menangis selama satu bulan liburan kuliah. Dan aku teringat bahwa yang membuatku menangis adalah hari itu, hari dimana Musyawarah Besar (MUBES) dan Laporan Pertanggung Jawaban (LPJ) dilaksanakan.
Hari itu, tepatnya pukul 10.00, setelah ketiga presidium sidang terpilih menjadi pemimpin Sidang Pleno I, semua pengurus LPM menuju ke muka peserta MUBES. Kami akan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban kami selama satu tahun masa kepengurusan. Betapa mudahnya mulut ini mengucap semua kebohongan yang aku buat. Aku membaca laporan pertanggungjawabanku yang tak pernah kulakukan dengan tanganku. Tak pernah aku langkahkan dengan kakiku. Tak pernah aku buat dengan pikiranku. Betapa mudahnya aku mengatakan bahwa semuanya telah terlaksana, padahal bukan akulah sang pelaksananya.
Hingga aku sadar, keesokan harinya, kaki ini terasa berat melangkah memasuki kantor LPM.
“Yes !, aku bebaaaaasssss…!”, teriak Carisa meluapkan kebahagiaannya sembari mengangkat kedua tangannya keatas seakan baru saja mendapatkan udara segar setelah sekian lama terkurung dalam ruang pengap.
“Alhamdulillah ya…, akhirnya kita jadi demisioner juga…”, sahut Maria dengan gaya ke-Syahrini-annya.
Mendengar kata-kata mereka, membuatku bertanya pada diriku sendiri. ‘Kenapa aku tak merasakan seperti yang mereka rasakan?. Aku sama sekali tak merasakan kelegaan seperti kelegaan mereka. Yang aku rasakan hanya kehampaan tanpa pengalaman dan kekosongan tanpa kenangan. Aku bertanya pada diriku sendiri, ‘apa aku pernah berorganisasi?’, namun aku tak mampu menjawabnya.
Kini pikiranku diselimuti rasa berdosa, rasa bersalah yang tak kunjung hilang dari benakku. Benar kata orang, bahwa penyesalan itu datangnya di akhir. Betapa layaknya aku disebut sebagai seorang penipu, pembohong, pengecut dan bahkan koruptor sekalipun. Aku telah berlari dari tanggung jawabku sebagai pengurus, aku melimpahkan tanggung jawabku kepada orang lain tanpa kata “tolong” ataupun “maaf”, lalu aku mengakui terlaksananya tanggung jawabku sebagai pengurus tanpa kata “terimakasih”. Hah, betapa munafiknya aku. Betapa kejamnya aku. Betapa mengecewakannya aku. Aku telah melalaikan tugas yang orang-orang percayakan padaku. Sungguh, kini aku menyesal.

Waktu sudah berlalu. Nasi telah menjadi bubur. Yang aku rasakan kini hanya sebuah tatapan kosong. Aku tak tau, harus bagaimana untuk menebus semua kesalahanku. Aku lelah dikejar-kejar rasa bersalah. Aku letih dirundung rasa sedih. Tapi aku malu mengakui kesalahanku. 

MAHASISWA ATAU SANG PLAGIATOR???

MAHASISWA ATAU SANG PLAGIATOR???
By: Ozy Shira
Lagi-lagi, penulis terinspirasi dari pengalaman. Tapi saya juga tidak tahu, apakah mahasiswa di Perguruan Tinggi lain juga mengalami hal demikian.  Saya adalah seorang mahasiswa, jadi saya mengalami masa-masa menjadi mahasiswa. Berdasarkan pengalaman, sebagian besar dosen mata kuliah menggunakan metode presentasi dalam mata kuliah mereka. Dalam hal ini, dosen memberikan tugas kepada mahasiswa untuk membuat makalah secara berkelompok, kemudian mempresentasikan makalahnya kepada mahasiswa lain.
Dilihat dari kemanfaatannya, metode ini memberikan dorongan yang cukup kuat kepada mahasiswa untuk menjadi mahasiswa yang mandiri, aktif, kreatif, bertanggung jawab, serta dapat membantu meningkatkan kemampuan mahasiswa untuk menguasai materi. Pembuatan makalah juga dapat melatih mahasiswa untuk berfikir ilmiah, dan sistematis. Rasa percaya diri juga dapat dilatih dan ditingkatkan melalui metode presentasi.
Selain itu, metode presentasi dapat meringankan beban dosen dalam mengajar. Dosen tidak perlu banyak bertindak atau berbicara untuk menjelaskan materi kuliah, karena mahasiswalah yang akan menjelaskan materi kuliah melalui presentasinya. Dengan metode ini, pengajar (baca;dosen) memberikan kesempatan penuh kepada mahasiswa untuk menuangkan pikiran dan gagasan-gagasan  mereka secara bebas.  
Namun demikian, segala sesuatu memiliki kekurangan. Metode presentasi yang membutuhkan persiapan materi berupa makalah kadang justru secara tidak langsung melatih mahasiswa untuk menjadi plagiator. Waktu yang terlalu singkat untuk mengerjakan sekian banyak makalah dengan sekian banyak materi yang sama sekali belum dikuasai oleh mahasiswa memaksa mahasiswa untuk mau tidak mau harus membuat, dan menghasilkan makalah sekaligus memahaminya sebelum melakukan presentasi. Tentu saja, hal ini memicu mahasiswa untuk mengambil jalan instan dengan rumus keyboard Ctrl+ C, Ctrl+ V, Ctrl+ X, lalu rapikan dan lanjutkan dengan rumus Ctrl+P, dengan sendirinya akan tercetak sebuah makalah, setebal apapun itu dan mungkin terasa mudah bagi mereka.
Apabila sumber makalah yang digunakan adalah buku, menurut saya itu dapat dikatakan “masih mending”, meskipun kadang masih mengusung gelar “sang plagiator” karena mahasiswa sering kali menulis kembali secara penuh (baca; menjiplak) dan tidak memparafrasekan isi buku tersebut tanpa menyebutkan sumber setelahnya.  Apalagi mereka tidak hanya mengambil satu atau dua paragraph saja, melainkan berlembar-lembar.
Sama-sama plagiator kenapa dikatakan “masih mending”? Ya…, tentu saja, setidaknya dengan menggunakan buku, sembari menulis kembali isi buku, mereka sedikit demi sedikit dapat sembari memahami materi. Akan tetapi bayangkan saja, sekian banyak mahasiswa era modern lebih suka mengambil jalan pintas yang lebih praktis, yakni menggunakan fasilitas internet. Internet menyediakan segala macam materi yang dibutuhkan oleh siswa. Dengan menggunakan rumus-rumus seperti yang telah disebutkan di atas, setelah mereka searching tema, kemudian download PDF atau browsing materi sesuai tema, makalah berhasil dicetak dalam waktu yang sangat singkat. Tapi, tentu saja mahasiswa yang demikian memiliki pemahaman yang lebih rendah daripada yang menggunakan buku. Kecuali jika telah ada proses pembelajaran sebelumnya.
Kenapa saya katakan demikian? Telah saya katakan sebelumnya bahwa saya adalah mahasiswa dan saya seringkali mengalaminya, lebih tepatnya melakukannya (jangan ditiru…hehe). Saya sering menggunakan rumus-rumus simple untuk menghasilkan makalah karena alasan keterbatasan waktu. Apalagi, nama  saya selalu diawal daftar mahasiswa, jadi saya selalu presentasi di awal masa perkuliahan. Namun, sebenarnya, dengan modal “niat” sebagai kaum intelektual, tidak sepantasnya mahasiswa menjadikan hal-hal demikian sebagai alasan. Pernah juga karena tidak sempat dan dengan keterbatasan waktu, saya membuat makalah dalam waktu satu malam dengan menggunakan buku-buku sebagai sumber, dan sama sekali tidak menggunakan internet. Makalah tersebut saya buat sebagaimana karya ilmiah sederhana yang sesungguhnya. Saya menyertakan inclusive note, foot note dan daftar pustaka. Saya memparafrase dan mengutip beberapa pendapat para penulis lalu saya mengembangkannya. Tapi, itu semua saya lakukan karena TERPAKSA. Dosen saya menuntut mahasiswa untuk membuat makalah yang sebenar-benarnya dengan sistematika yang telah ditentukan. Jika makalah yang di buat mahasiswa belum tampak sebagaimana karya ilmiah, makalah harus mengalami revisi sampai diperoleh karya ilmiah sesungguhnya.
Karena itu, selain berasal dari faktor waktu, materi dan kesadaran mahasiswa, terdapat juga beberapa faktor yang berasal dari dosen. Dosen yang kurang memperhatikan hasil karya mahasiswa dalam penyusunan makalah, membuat mahasiswa enggan membuat makalah yang sempurna. Sehingga, hal ini secara tidak langsung juga melatih mahasiswa untuk tetap merasa kesulitan dalam menghasilkan karya ilmiah.
Naaahhhh, sekarang yang paling penting adalah KERJA SAMA. Tidak perlu menyalahkan atau menjudge siapapun dalam hal mencetak para plagiator. Tidak ada yang lebih benar atau sangat salah. Yang ada adalah “existensi niat”(hehe…bahasa apa tuw??) yang harus dimiliki oleh kedua belah pihak. Mahasiswa harus menerima konsekuensinya sebagai mahasiswa yang sebenar-benarnya, demikian juga dengan dosen. Akan tetapi, peran aktif mahasiswa tetap menjadi hal utama, karena masa mahasiswa bukan lagi merupakan masa-masa untuk “bermanja-manja”. Masa mahasiswa adalah masa-masa membentuk kemandirian masing-masing. Jadi…, dalam hal ini berlaku hukum “Siapa cepat dia dapat, siapa niat dia selamat, dan siapa giat dia terangkat”. Tinggal tetapkan apa yang kamu inginkan, MAHASISWA ATAU SANG PLAGIATOR???
Jangan tersinggung bagi temen-temen yang tidak termasuk dalam golongan sang plagiator  ya…Saya hanya ingin menuliskan apa yang ada di pikiran saya. Saya tahu bahwa tidak semua mahasiswa termasuk dalam golongan yang saya jelaskan sebelumnya. Dan SELAMAT bagi para mahasiswa yang berhasil menjadi kaum intelektual yang sebenarnya…. Hehe…. Yang belum berhasil…, di coba yuuux…hehe (termasuk penulis)

Semoga bermanfaat…TERIMAKASIH… JJJ